Jakarta. Lidikinvestigasi.com – Penerapan Kurikulum Merdeka oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berjalan di berbagai sekolah di seluruh Indonesia. Meski diklaim berhasil meningkatkan minat belajar siswa dan kreativitas guru, pro dan kontra di lapangan masih menjadi perbincangan hangat.
Sejak diluncurkan, Kurikulum Merdeka bertujuan memberikan kebebasan bagi sekolah dan guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi siswa. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang kaku, Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran berbasis proyek, di mana siswa diajak untuk memecahkan masalah nyata dan mengembangkan karakter.
Keberhasilan yang Diklaim Kemendikbudristek
Berdasarkan data Kemendikbudristek, banyak sekolah yang melaporkan adanya peningkatan antusiasme siswa. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, melainkan pada eksplorasi dan kolaborasi antar siswa. "Siswa jadi lebih berani bertanya dan menyampaikan ide. Mereka tidak takut salah karena proses belajar lebih dihargai," ujar Ibu Rina, seorang guru di salah satu SMP di Jakarta.
Selain itu, kurikulum ini juga dianggap mampu mengurangi beban administratif guru, yang sebelumnya banyak mengeluh karena harus mengikuti format yang rumit. Dengan Kurikulum Merdeka, guru lebih fokus pada perancangan materi yang kreatif dan interaktif.
Pro dan Kontra di Kalangan Praktisi Pendidikan
Meskipun demikian, tidak semua pihak sepakat dengan klaim keberhasilan tersebut. Beberapa praktisi pendidikan dan orang tua mengutarakan kekhawatiran mereka.
Salah satu kontra yang paling sering disuarakan adalah mengenai kesiapan guru. Banyak guru di daerah, terutama di pelosok, merasa belum mendapatkan pelatihan yang memadai. Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk inovatif dan adaptif, sementara tidak semua guru memiliki kapasitas tersebut. "Kami butuh pendampingan yang intensif, bukan hanya sosialisasi satu kali," kata Pak Budi, guru dari sebuah SD di Jawa Tengah.
Selain itu, kesenjangan fasilitas juga menjadi masalah. Pembelajaran berbasis proyek seringkali membutuhkan sarana dan prasarana yang tidak semua sekolah memilikinya. Sekolah di kota-kota besar mungkin mudah beradaptasi, namun sekolah di pedesaan terkendala oleh keterbatasan ini.
Kesimpulan: Kolaborasi Kunci Keberhasilan
Kurikulum Merdeka memiliki niat baik untuk menciptakan generasi yang lebih kreatif dan berkarakter. Namun, keberhasilan penerapannya tidak bisa hanya bergantung pada guru dan sekolah. Dibutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan siswa.
Pemerintah perlu memperkuat program pelatihan guru dan memastikan pendampingan yang merata. Sementara itu, sekolah dan orang tua harus proaktif dalam menciptakan ekosistem yang mendukung. Dengan demikian, Kurikulum Merdeka tidak hanya menjadi sebuah kebijakan, tetapi benar-benar menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. (Red)