Sengketa Sertifikat Tanah di Nganjuk: Warga Adukan ke LPRI, Mediasi Dilakukan Pemdes Senjayan
Nganjuk, Lidikinvestigasi.com – Permasalahan sertifikat tanah di Desa Senjayan, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, mencuat ke publik setelah salah satu warga berinisial S mengadukan kasusnya kepada Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia (LPRI). Aduan masyarakat (DUMAS) ini bermula dari dugaan adanya kejanggalan dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang sebelumnya dihibahkan oleh orang tua S kepada dirinya.
Menurut pengakuan S, tanah seluas 770 meter persegi tersebut merupakan milik orang tuanya dan telah secara sah dihibahkan kepadanya sebagai anak yang selama ini merawat mereka. Proses hibah dilakukan di hadapan kepala desa yang menjabat pada waktu itu, disaksikan oleh keluarga besar, perangkat desa, dan dilengkapi surat pernyataan bermaterai yang ditandatangani semua pihak terkait.
“Surat hibah itu sah secara hukum dan disetujui semua keluarga,” ungkap S saat ditemui usai mediasi.
Namun, S merasa heran dan keberatan ketika mengetahui sertifikat atas tanah tersebut justru terbit atas nama saudara kandungnya. Kejadian ini disebut telah berlangsung sejak sekitar delapan tahun lalu, bertepatan dengan adanya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Senjayan, saat dipimpin oleh kepala desa sebelumnya, M.
Merasa tidak mendapatkan keadilan, S kemudian melapor kepada LPRI. Ketua LPRI, Joko, menyambut baik aduan ini dan mendorong adanya penyelesaian yang transparan. “Kasus ini harus diselesaikan dengan bukti yang jelas dan prosedur hukum yang benar,” ujarnya.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala Desa Senjayan saat ini, Sumarji, memfasilitasi mediasi yang dilaksanakan pada Selasa, 15 April 2025. Mediasi dihadiri semua pihak terkait, termasuk keluarga, perangkat desa, dan perwakilan LPRI. Dari hasil mediasi, terungkap bahwa seluruh pihak pada awalnya telah menyepakati hibah kepada S, namun sertifikat yang diterbitkan tidak sesuai dengan kesepakatan tersebut.
Hingga kini, polemik ini masih dalam proses penyelesaian. Pihak desa dan LPRI berkomitmen mengawal agar kasus ini menemukan titik terang dan keadilan bagi pihak yang berhak. “Prinsipnya, semua harus sesuai hukum dan kesepakatan awal,” tegas Sumarji.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam setiap proses administrasi pertanahan, khususnya dalam program PTSL, agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. (Pgh)